MENGUAK TABIR PILKADA DAN DEMOKRASI

Musim pilkada sedang melanda sumatera utara. Pemilihan gubernur sumut akan segera digelar. Sejak pertengahan November 2007, berbagai nama mulai bermunculan menandakan proses sosialisasi figur sebagai calon gubernur dan wakil gubernur telah dimulai, dimana Sejumlah poster mewarnai jalanan di setiap kota / kabupaten di seluruh wilayah sumut. Setelah penentuan calon gubernur disahkan oleh KPU Sumut, setiap pasangan calon kemudian membentuk team sukses (TS) yang bertugas untuk memuluskan jalan menuju pemenangan pilkada.

Dari hasil survey yang dilakukan oleh sebuah lembaga riset di sumatera utara, yang menyebutkan bahwa masyarakat cenderung masih berharap hasil pilkada kali ini akan membawa pada tercapainya kesejahteraan rakyat. Gubernur yang terpilih memiliki prinsip pembangunan daerah, tanpa mengabaikan kepentingan rakyat, dan memiliki moral / akhlaq yang baik, dengan sandaran ke-Islaman. Akan tetapi, tidak sedikit daripada masyarakat yang pesimis terhadap impian tadi, mengingat kampanye yang dilakukan calon akan menyedot dana yang tidak sedikit, dan tentunya tidak terlepas dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencari keuntungan pada saat pilkada dan pasca pilkada.

Survey tersebut juga mengemukakan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan figur pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang mampu mengemban amanah rakyat, mensejahterakan rakyat dan mampu memperjuangkan dan menegakkan hukum. Selain itu, penampilan fisik juga mempengaruhi persepsi masyarakat pemilih, sehingga membuat mereka mempercayai figur yang cakap, berpenampilan meyakinkan sebagai gubernur dan seorang yang baik, ramah, suka menyumbang dan suka memperhatikan rakyat kecil.

Dari hasil survey tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa masyarakat sampai saat ini, masih berharap pada terpilihnya pemimpin yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat dari proses pilkada
Masyarakat pemilih masih tergolong masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh penampilan fisik, dan suka dengan pemberian sumbangan, baik itu masyarakat ekonomi lemah maupun kelompok agama tertentu.
Ada kecenderungan pilkada kali ini juga akan menyinggung masalah SARA. Minimal pemanfaatan agama tertentu untuk mendapatkan dukungan.

Namun, benarkah harapan dan keinginan masyarakat dapat benar-benar terwujud? Benarkah bahwa ada pemimpin yang benar-benar bersih dan membela kepentingan rakyat di atas kepentingan diri, kolega maupun pengusaha? Bagaimana pandangan Islam terhadap realita pemilihan gubernur dan demokrasi? Tulisan ini akan mencoba mengupas realita pilkada, demokrasi, dan sistem Islam dalam menjawab permasalahan negeri ini.

Realita Pilkada dan sistem Demokrasi
Pilkada merupakan bagian dari sistem politik demokrasi yang ternyata tidak lebih dari sekedar industri politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sistem demokrasi, pemilik modal merupakan pihak yang berkuasa dan menentukan, baik dalam menentukan pemimpin maupun dalam pembuatan peraturan. Meskipun mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Fakta membuktikan, tidak sedikitnya kepala daerah yang dicalonkan harus membayar ’obligasi’ kepada para pemberi modal kampanye yang telah ikut menyukseskan terpilihnya kepada daerah tersebut. Para pemberi modal tersebut bisa dari kalangan pengusaha, tokoh politik dan kolega lainya, yang tentunya memiliki kepentingan untuk memperoleh beragam kemudahan dan fasilitas yang dapat diberikan oleh calon yang diusungnya. Sebagai imbalannya, bisa berupa proyek, izin untuk membuka bisnis ini dan itu, atau bahkan mungkin juga uang itu harus dikembalikan berikut bunga dan bonus.
Praktik pelaksanaan pilkada juga tidak jauh dari nuansa bisnis, berbagai penawaran kerjasama antar calon kepala daerah merupakan tawar menawar dengan jumlah uang yang tidak sedikit. Seorang calon gubernur untuk meminang calon wakil gubernur harus mengeluarkan dana sampai milyaran rupiah, termasuk untuk meminta suatu partai untuk mendukungnya. Jika seorang calon gubernur tidak memiliki uang kontan dalam jumlah besar, tentunya mereka akan mengandalkan janji / ’obligasi’ yang akan meyakinkan para rekanan untuk mem-backup dana kampanye.
Selain itu, biasanya calon yang mampu memodali kampanye atau dekat dengan pihak-pihak yang mampu memodali kampanyelah yang akan meraih peluang lebih besar. Sejak tahun 2004, tren yang terjadi adalah para pengusaha berlomba-lomba masuk dalam kancah pertarungan pemilihan kepala daerah. Hal ini menandakan bahwa proses pencalonan kepala daerah diwarnai oleh kaum pengusaha (baca: kapitalis) yang lebih memikirkan bisnis ketimbang masyarakat.
Dengan demikian, pada tahap pencalonan saja, yang akan terjaring bukan yang ‘bermutu’, tetapi yang ‘beruang’ (punya uang), atau yang didukung kalangan yang punya modal, yang pasti punya pamrih. Dengan demikian, Pilkada tetap tidak bisa menghapus oligarki partai. Pemimpin daerah terpilih pun tidak otomatis akan menjadi pejuang kepentingan rakyat. Sangat boleh jadi, mereka malah akan menjadi pejuang kepentingan diri sendiri dan pihak yang memodalinya. ‘Penjualan’ sumber air yang sangat besar di satu kabupaten Jawa Tengah kepada sebuah perusahaan air minum terkenal yang berakibat merugikan para petani di sana yang selama puluhan tahun menikmati air yang melimpah, atau pemberian akses untuk mengeksploitasi tambang kepada pengusaha yang memodali pemilihan seperti yang terjadi di Sulawesi, sangat mungkin juga akan terjadi di seluruh daerah negeri ini.
Walhasil, Pilkadal sebenarnya hanya memberi satu kepastian, yakni mereka terpilih secara langsung. Selebihnya, tidak ada jaminan bahwa kualitas mereka yang terpilih itu pasti akan lebih baik. Perbaikan sistem yang diperlukan guna memberikan solusi atas berbagai persoalan yang melilit umat bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan langsung atau tidak langsungnya kepala daerah terpilih, karena ia merupakan produk dari ideologi dan suprasistem yang diberlakukan saat ini. Oleh karena itu, belum tentu cara pemilihan kepala daerah secara langsung itu akan secara langsung pula memberikan solusi atas berbagai kesulitan yang tengah diderita oleh rakyat. Lihatlah, Presiden yang terpilih secara sangat demokratis sekalipun ternyata, begitu terpilih; ia malah memberikan tambahan kesulitan kepada rakyat dengan menaikkan harga BBM, menarik subsidi minyak tanah, dll.
Historis Demokrasi
Secara historis, kemunculan demokrasi pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran lainnya: sekularisme, liberalisme, dan Kapitalisme. Keempatnya muncul sebagai “satu paket” untuk melawan pemikiran-pemikiran lain: monarki absolut (otokrasi) dan teokrasi. Saat itu rakyat di 13 koloni Inggris di pantai timur Amerika serta Kekaisaran Prancis terbelah: yang pro raja dan gereja (dipimpin para bangsawan) dan kontra raja dan gereja (dipimpin para filosof dan kaum borjuis). Pihak pertama membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya. Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun tidak digugat.
Sebaliknya, pihak kedua mengeluarkan empat teori yang berlawanan. Teori sekularisme menyatakan bahwa rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya liberalisme menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri. Kapitalisme menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi, dan pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi” saja. Adapun demokrasi menegaskan teori “kedaulatan rakyat” sebagai lawan dari teori kedaulatan Tuhan. Demokrasi menegaskan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Tidak ada ketentuan Tuhan mengatur rakyat dalam kehidupan publik. Sebaliknya, suara publik itu sendirilah yang harus diakui sebagai pencerminan “suara Tuhan”.
Jelaslah, demokrasi berada dalam satu kesatuan dengan ketiga pemikiran lain (sekulerisme-kapitalisme-demokrasi). Dalam realitasnya, pada negara-negara yang berubah menjadi negara demokrasi berlangsung dua proses berikut:
Pertama, dengan dipelopori para filosof, dengan sekularisme dan liberalismenya, kedaulatan rakyat berarti rakyat semakin jauh dari kedaulatan penguasa (otokrasi) dan kedaulatan gereja (teokrasi); kedaulatan rakyat berarti lawan dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa.
Kedua, dengan melihat fakta bahwa “rakyat yang paling kuat” adalah kaum borjuis (kaum kapitalis, para pemilik modal) maka otomatis rakyat berada dalam kekuasaan kaum borjuis. Kedaulatan rakyat berarti kedaulatan pemilik modal (korporatokrasi).
Alhasil, dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi rakyat berpindah dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa menuju kedaulatan pemilik modal; dari teokrasi dan otokrasi ke korporatokrasi.

Kesalahan Paradigma Demokrasi
Masyarakat sering mengartikan demokrasi sebagai pemilihan penguasa. Bahkan untuk mendukung pemahaman tersebut, dunia internasional pernah memberikan penghargaan demokrasi (Democracy Award) kepada Indonesia yang diberikan oleh Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC/International Association of Political Consultant)—organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi. Indonesia dinilai sebagai negara yang demokratis. Presiden IAPC Ben Goddard menyatakan, penghargaan itu diberikan karena Indonesia yang telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi. Hal tersebut terlihat dari kesuksesan Indonesia dalam mengawal pelaksanaan pemilu yang berlangsung sukses di berbagai daerah.
Syaikh Taqiyuddin dalam kitab Nizhomul Hukm fi Al Islam, mengungkapkan bahwa sistem demokrasi yang tampak (baca: digembar gemborkan oleh barat saat ini) bukanlah demokrasi menurut pengertian yang hakiki, melainkan kamuflase yang menipu, dimana pengertian sesungguhnya dari demokrasi adalah pengambil-alihan hak membuat hukum dari Allah SWT sebagai Asy Syari’ (baca: Sang Pembuat Hukum) kepada manusia/rakyat. Dalam demokrasi rakyat diberikan kebebasan untuk berbicara, berbuat, beragama dan berekonomi. Sehingga dalam penetapan hukum dan perundang-undangan kesempatan penetapannya diserahkan kepada rakyat dan hal ini membuat terputusnya hubungan keterikatan dengan hukum-hukum syariah Islam. Padahal Allah SWT berfirman dalam surat Yusuf [12] ayat 40 :
...Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Praktek pemilihan penguasa yang diagungkan oleh pejuang demokrasi, sesungguhnya hanyalah bahagian kecil dari sistem demokrasi yang sesungguhnya. Sebab prinsip yang sesungguhnya dari demokrasi adalah menetapkan halal dan haram serta hukum perundang-undangan di tangan manusia bukan di tangan Allah SWT. Dengan demikian prinsip demokrasi ini telah mengkebiri hak Allah SWT sebagai Pembuat Hukum, dan lebih mengagungkan manusia untuk membuat hukum. Untuk satu hal ini, sungguh dosa yang sangat besar bagi siapapun yang mempertahankan demokrasi sebagai dasar kebijakan di negeri ini.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa [4] ayat 65 :
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Melihat sistem demokrasi yang merusak ini, sudah sepantasnya umat Islam hijrah dari sistem sekular yang bobrok ini. Sistem sekular—dengan demokrasi sebagai salah satu instrumen utamanya—adalah sistem kufur yang harus ditinggalkan. Hijrah secara syar‘i adalah perpindahan dari sistem kufur ke sistem Islam. Hijrah seperti inilah yang dilakukan Rasulullah saw. dulu yang kemudian membawa kebangkitan umat Islam. Beliau dan umat Islam saat itu berpindah dari sistem Jahiliah di Makkah menuju sistem Islam di Madinah.
Walhasil, yang harus kita lakukan sekarang juga sama, hijrah dari sistem sekular yang Jahiliah dengan kembali menegakkan Khilafah.

Sistem Politik dalam Islam
Politik, didalam literatur arab adalah siyasah, yaitu : sasa - ya susu - siyaasatan - siyasah yang artinya urus, mengurus. Yaitu : mengurus seluruh problematika rakyat dengan solusi menurut syariah Islam. Baik itu berkenaan masalah individu maupun sosial kemasyarakatan.
Misalnya masalah orang tidak memiliki pengetahuan tentang sholat, padahal sholat itu wajib. Maka Islam memberikan solusinya tentang tata cara sholat dan mengingatkan/memberi peringatan bagi yang melalaikan sholat. Atau ketika masyarakat menjerit dengan melonjaknya kebutuhan pokok yang diakibatkan oleh naiknya BBM dan listrik, maka Islam memberikan solusi bahwa sesungguhnya memperjual - belikan sumber daya alam yang dilakukan penguasa kepada rakyatnya sendiri adalah tindakan haram.
Sehingga politik Islam didalam pemerintahan bernegara adalah bahwa penguasa berkewajiban untuk mengeluarkan rakyat dari berbagai problematika kehidupan dengan pemecahan menurut syariat Islam, bukan malah membebani hidup rakyatnya seperti sekarang ini.
Sesungguhnya dengan mendasari pemikiran dengan politik Islam, permasalahan bangsa ini bukan disebabkan karena permasalahan pemimpin semata. Melainkan lebih disebabkan karena sistem demokrasi yang sekuler – kapitalistik yang membuat kebobrokan pengelolaan negara ini sehingga berakibat pada kesengsaraan rakyat. Demokrasi yang tidak terlepas dari kapitalisme – sekulerisme ternyata tidak terbukti memberikan manfaat bagi masyarakat, melainkan merusak ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya masyarakat.
Sudah saatnya untuk menyadari bahwa Islam adalah dien, yang tidak sekedar agama yang mengatur urusan ibadah ritual saja, tetapi sekaligus agama politik yaitu yang mengurus / mengatur seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana dicontohkan aplikasinya secara nyata oleh Rasullulah SAW dan para sahabatnya didalam Khulafa ar Rasyidin (para khalifah yang lurus mengikuti manhaj kenabian).
Sungguh tepat yang dinyatakan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhomul Islam menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Sang Penciptanya, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Hubungan manusia dengan sesama manusia meliputi hukum - hukum muammalah (baca : ipoleksosbudhankam) dan uqubat (baca : sanksi).
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq [65] : 3)

Lantas, Bagaimana Kepemimpinan dalam Islam
Pertanyaannya adalah siapakah yang mampu menerapkan urusan untuk mengatur hubungan antar manusia dengan syariat Islam didalam kehidupan bersosial ? Apakah individu atau ormas dapat memaksakan terhadap individu atau ormas lainnya ? Jawabannya hanya satu yaitu Pemerintah Daulah Khilafah Islamiyah seperti yang dicontohkan oleh Rasul SAW dan Khulafa ar Rasyidin.
Rasulullah Saw bersabda : "Dulu Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah,para shahabat bertanya : " apakah yang engkau perintahkan kepada kami saat itu? beliau menjawab ; penuhilah bai'at yang pertama baru yang kemudiannya. dan berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggung-jawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusan kepada mereka"" (HR. Bukhari no.3455 dan Muslim no.1844)
Istilah ”tasusuhumul anbiya” berarti mereka diurusi urusannya oleh para nabi dilanjutkan oleh para khalifah, dan akan ada pertanggung jawaban oleh yang mengurus rakyat kepada Allah, ada hak yang mengurusi yang mesti dipenuhi oleh rakyat (muhassabah lil hukm : mengoreksi pemerintah).
Syarat-syarat Khalifah
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Nazhomul Hukm fil Islam menyebutkan tujuh syarat sehingga seseorang layak menjadi khalifah, dimana syarat tersebut menjadi syarat sah untuk diangkat menjadi khalifah atau disebut sebagai syarat in’iqâd. Jika ada 1 saja kekurangan, maka akad pengangkatan khalifah menjadi tidak sah. Adapun syarat tersebut adalah :
Muslim (beraqidah Islam dan memahami serta menjalankan hukum syariah Islam)
Laki-laki
Baligh atau dewasa,
Berakal (mampu berfikir dengan cermat dalam mengkaitkan sesuatu dengan sesuatu yang lain)
Adil (menempatkan sesuatu masalah sesuai dengan tuntutan syara’)
Merdeka (tidak dalam tekanan/perbudakan/intervensi pihak asing)
Mempunyai kemampuan (kompetensi dalam memimpin negara secara fisik dan ke-Ilmuan)
Dengan demikian sebuah negara tidak dapat dipimpin oleh seorang yang kafir, dari golongan wanita, anak kecil, tidak mampu berlaku adil (menempatkan permasalahan sesuai dengan tuntunan Islam), seseorang yang masih dalam tekanan politik/intervensi dari asing, dan minus kemampuan sebagai pemimpin baik secara fisik maupun ke-ilmuan.
Keberadaan khalifah menjadi wajib hukumnya dalam kehidupan kaum muslimin, dan keberadaan peranannya merupakan tolok ukur dilaksanakannya hukum-hukum Allah dalam kehidupan. Dengan demikian seorang Khalifah yang berkuasa atas seluruh kaum muslimin di dunia adalah merupakan jabatan ibadah atau yang sering kita sebut sebagai amanah dari Sang Penyeru Hukum dan Rasul-Nya. Khalifah merupakan amanah untuk mengurusi ummat dengan syariat dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Semoga kita masih diberi umur, sehingga kita menjumpai seorang kepala negara yang tidak mendapat gaji karena jabatannya. Dan tidak mengambil keuntungan dari kekuasaanya kecuali hanya untuk menegakkan Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia hingga Islam bersemayam di seluruh negeri-negeri di dunia. Sabdanya :
Sungguh perkara (agama) ini akan sampai ke seluruh dunia sebagaimana sampainya malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun baik di kota maupun di desa kecuali Allah akan memasukkan agama ini dengan kemuliaan yang dimuliakan atau kehinaan yang dihinakan; kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan Islam dan kehinaan yang dengannya Allah menghina-dinakan kekufuran (HR Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, ath-Thabrani, Ibn Bisyran dan Abu ‘Urubah).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Referensi :
1. An-Nabhani Taqiyuddin (2000). Sistem Pemerintahan dalam Islam, terjemah kitab Nizhomul Hukmi fil Islam.
2. An-Nabhani Taqiyuddin (2001). Peraturan Hidup dalam Islam, terjemah kitab Nizhomul Islam. HTI Press.
3. Hizbut Tahrir (2005). Struktur Negara Khilafah, terjemah kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilafah, HTI Press.
4. Husain Matla (2008), Demokrasi dan dan Kedaulatan Pemilik Modal, Majalah Al-Waie.
5. Husain Matla, Demokrasi Tersandera? Menyingkap Misteri 21/4 Abad, Big Bang, 2007.


[1]) Materi Diskusi Publik Hizbut Tahrir tanggal 10 Februari 2008. di Masjid Ash Sholihin, Jl.Katamso - Medan.
[2]) Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Medan, bekerja sebagai peneliti sosial politik

Popular posts from this blog

HENTIKAN IMPOR BERAS !!

Kapitalisme GAGAL dalam mengentaskan kemiskinan

My Family