Pilkada : Solusi atau musibah bagi Demokrasi

Tak pelak lagi, suasana kampanye semakin meriah di hampir seluruh kota dan kabupaten di Propinsi sumut. Hampir di setiap sudut kota, di persimpangan jalan dan di sebagian tiang-tiang listrik bertengger sejumlah spanduk or baliho dan juga poster yang menampangkan wajah para calon atau yang bakan dicalonkan jadi gubsu (baca : gubernur sumut).

Kalo dilihat, saat ini (bulan desember), KPU belum memulai untuk membuka pendaftaran. Semua usaha yang telah dilakukan balon gubsu tak lebih dari keinginan untuk membuka diri dan menunjukkan diri kepada publik. Keberadaan yang dirasakan (awareness) terhadap suatu tokoh memang penting sekali untuk ditingkatkan. Mengingat model dari pemilihan kepala daerah (pilkada) saat ini bersifat langsung, artinya rakyatlah yang langsung menjatuhkan pilihan tanpa melalui perwakilan. Oleh karenanya, image seorang tokoh di mata publik tentunya menjadi salah satu point penting dalam penentuan keberadaannya di tengah masyarakat. Masyarakat akan mengenal dan mengetahui keberadaan seorang tokoh apabila tokoh tersebut mau membuka diri dan mempublikasikan dirinya kepada khalayak. Tentang apa dan bagaimana dirinya mempresentasikan diri di hadapan publik, hal ini akan membentuk image (citra) tersendiri di mata publik.

Bagi seorang SBY misalnya, setelah kasus mundurnya dari jajaran menteri dan perselisihannya dengan Megawati, ternyata berbuah keadaan positif di mata publik, dengan segera publik meyakini sosok SBY sebagai penentang pemerintahan ala Ibu Rumah Tangga yang diperankan Megawati. Akhirnya, SBY dikenal sebagai sosok yang humanis, bijaksana, bersahaja, dekat dengan rakyat kecil dan cerdas. Tentunya citra tersebut dengan cepat dapat mendongkrak kepercayaan publik dan ternyata berhasil memperoleh kepercayaan tertinggi sebagai Presiden RI ke 6.

Akan tetapi tidak mudah untuk membentuk awareness apalagi hingga menjadi sebuah citra yang positif dan lebih tidak mudah lagi untuk mendapatkan kepercayaan publik. Agaknya, hal inilah yang disadari oleh para pelaku kampanye. Mereka berbondong-bondong mendatangi percetakan dan sablon untuk membuat spanduk dan poster. Hal ini semata-mata untuk mendongkrak awareness dirinya di hadapan publik. Akan tetapi, belum tentu bisa membentuk image apalagi meraih kepercayaan. Dalam hal ini, terlihat adanya dana yang begitu besar dibutuhkan oleh para kontestan untuk bersaing. Dari kue belanja peralatan dan perlengkapan kampanye saja dapat kita perhitungkan, misalnya jumlah baju yang dicetak x Rp. 25.000,- ; jika jumlah baju yg dicetak = 2500 buah, maka jumlah biaya cetak dan pembelian baju menjadi : 62.500.000,- Itu baru baju, belum lagi kain spanduk, poster dll. Tentunya bukan jumlah yang sedikit, apalagi wilayah yang dijangkau lintas kabupaten / kota.

Dengan demikian wajar saja jika muncul anggapan "Betapa mahalnya demokrasi", betapa tidak manusiawinya sistem pilkada yang diberlakukan saat ini. Karena jelas telah menyuburkan budaya machiavelis, kolonialis dan fanatisme tokoh.

Ditinjau dari sudut demokrasi, tentunya pilkada merupakan salah satu bentuk ketatalaksanaan pemerintahan yang menempatkan publik sebagai penentu dan berkuasa atas terbentuknya pemerintahan. Sekilas sistem ini terkesan egaliter dan damai, sehingga banyak orang yang berminat untuk mempertahankan sistem ini. Akan tetapi, perlu untuk disadari, bahwa untuk melaksanakan pilkada dan mengagungkan demokrasi, pemerintah harus berjibaku menyisihkan anggaran di APBN/APBD agar pilkada dapat dilaksanakan. Besarnya pun tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai lebih dari 50 milyar.

Benarkah demokrasi membawa manfaat?

Popular posts from this blog

HENTIKAN IMPOR BERAS !!

Kapitalisme GAGAL dalam mengentaskan kemiskinan

My Family